Latar Belakang Masalah
Di era reformasi sekarang ini, Indonesia mengalami banyak
perubahan. Perubahan sistem politik, reformasi ekonomi, sampai reformasi
birokrasi menjadi agenda utama di negeri ini. Yang paling sering dikumandangkan
adalah masalah reformasi birokrasi yang menyangkut masalah-masalah pegawai
pemerintah yang dinilai korup dan sarat dengan nepotisme. Reformasi birokrasi
dilaksanakan dengan harapan dapat menghilangkan budaya-budaya buruk birokrasi
seperti praktik korupsi yang paling sering terjadi di dalam instansi
pemerintah. Reformasi birokrasi ini pada umumnya diterjemahkan oleh
instansi-instansi pemerintah sebagai perbaikan kembali sistem remunerasi
pegawai. Anggapan umum yang sering muncul adalah dengan perbaikan sistem penggajian
atau remunerasi, maka aparatur pemerintah tidak akan lagi melakukan korupsi
karena dianggap penghasilannya sudah mencukupi untuk kehidupan sehari-hari dan
untuk masa depannya. Namun pada kenyataannya, tindakan korupsi masih terus
terjadi walaupun secara logika gaji para pegawai pemerintah dapat dinilai
tinggi.
Korupsi dari yang bernilai jutaan hingga miliaran rupiah
yang dilakukan para pejabat pemerintah terus terjadi sehingga dapat disinyalir
negara mengalami kerugian hingga triliunan rupiah. Tentunya ini bukan angka
yang sedikit, melihat kebutuhan kenegaraan yang semakin lama semakin meningkat.
Jika uang yang dikorupsi tersebut benar-benar dipakai untuk kepentingan
masyarakat demi mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kualitas pendidikan, mungkin
cita-cita tersebut bisa saja terwujud. Dana-dana sosial akan sampai ke tangan
yang berhak dan tentunya kesejahteraan masyarakat akan meningkat.
Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang
artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi menurut
Huntington (1968) adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari
norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini
ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.
Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku
individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi,
merugikan kepentingan umum.
Selanjutnya, dengan merujuk definisi Huntington diatas,
Heddy Shri Ahimsha-Putra (2002) menyatakan bahwa persoalan korupsi adalah
persoalan politik pemaknaan.
Maka dapat disimpulkan korupsi merupakan perbuatan curang
yang merugikan Negara dan masyarakat luas dengan berbagai macam modus. Seorang
sosiolog Malaysia Syed Hussein Alatas secara implisit menyebutkan tiga bentuk
korupsi yaitu sogokan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme.
Alatas mendefinisikan nepotisme sebagai pengangkatan
kerabat, teman, atau sekutu politik untuk menduduki jabatan-jabatan publik,
terlepas dari kemampuan yang dimilikinya dan dampaknya bagi kemaslahatan umum
(Alatas 1999:6).
Inti ketiga bentuk korupsi menurut kategori Alatas ini
adalah subordinasi kepentingan umum dibawah tujuan-tujuan pribadi yang mencakup
pelanggaran-pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, yang
dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan sikap masa bodoh
terhadap akibat yang ditimbulkannya terhadap masyarakat.
Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana
pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi
moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan
administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk
menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing),
memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya
yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak
korupsi.
Mengutip Robert Redfield, korupsi dilihat dari pusat budaya,
pusat budaya dibagi menjadi dua, yakni budaya kraton (great culture) dan budaya
wong cilik (little culture). Dikotomi budaya selalu ada, dan dikotomi tersebut
lebih banyak dengan subyektifitas pada budaya besar yang berpusat di kraton.
Kraton dianggap sebagai pusat budaya. Bila terdapat pusat budaya lain di luar
kraton, tentu dianggap lebih rendah dari pada budaya kraton. Meski pada
hakikatnya dua budaya tersebut berdiri sendiri-sendiri namun tetap ada bocoran
budaya.
Sebab-Sebab
Korupsi
Penyebab adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan
beraneka ragam. Akan tetapi, secara umum dapatlah dirumuskan, sesuai dengan
pengertian korupsi diatas yaitu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi
/kelompok /keluarga/ golongannya sendiri.
Faktor-faktor secara umum yang menyebabkan seseorang
melakukan tindakan korupsi antara lain yaitu :
- Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberi ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
- Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.
- Kolonialisme, suatu pemerintahan asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi
- Kurangnya pendidikan.
- Adanya banyak kemiskinan.
- Tidak adanya tindakan hukum yang tegas.
- Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
- Struktur pemerintahan.
- Perubahan radikal, suatu sistem nilai yang mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai penyakit transisional.
- Keadaan masyarakat yang semakin majemuk.
Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering
disebut GONE Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi
meliputi :
- Greeds(keserakahan) : berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang.
- Opportunities(kesempatan) : berkaitan dengankeadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.
- Needs(kebutuhan) : berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
- Exposures(pengungkapan) : berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.
Bahwa faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan dengan
individu pelaku (actor) korupsi, yaitu individu atau kelompok baik dalam
organisasi maupun di luar organisasi yang melakukan korupsi yang merugikan
pihak korban. Sedangkan faktor-faktor Opportunities dan Exposures berkaitan
dengan korban perbuatan korupsi (victim) yaitu organisasi, instansi, masyarakat
yang kepentingannya dirugikan.
Menurut Dr.Sarlito W. Sarwono, faktor penyebab seseorang
melakukan tindakan korupsi yaitu faktor dorongan dari dalam diri sendiri
(keinginan, hasrat, kehendak, dan sebagainya) dan faktor rangsangan dari luar
(misalnya dorongan dari teman-teman, kesempatan, kurang kontrol dan
sebagainya).
Menurut Komisi IV DPR-RI, terdapat tiga indikasi yang
menyebabkan meluasnya korupsi di Indonesia, yaitu :
- Pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi.
- Penyalahgunaan kesempatan untuk memperkaya diri.
- Penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri.
- Dalam buku Sosiologi Korupsi oleh Syed Hussein Alatas, disebutkan ciri-ciri korupsi antara lain sebagai berikut :
- Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
- Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan.
- Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungann timbale balik.
- Berusaha menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik perlindungan hukum.
- Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
Macam-Macam
Korupsi
Korupsi telah didefinisikan secara jelas oleh UU No 31 Tahun
1999 jo UU No 20 Tahun 2001 dalam pasal-pasalnya. Berdasarkan pasal-pasal
tersebut, terdapat 33 jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi.
33 tindakan tersebut dikategorikan ke dalam 7 kelompok yakni :
- Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan Negara
- Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap
- Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan
- Korupsi yang terkait dengan pemerasan
- Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang
- Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan
- Korupsi yang terkait dengan gratifikasi
Menurut
Aditjandra dari definisi tersebut digabungkan dan dapat diturunkan menjadi
dihasilkan tiga macam model korupsi (2002: 22-23) yaitu :
Cara
Pencegahan Dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Menurut Baharuddin Lopa, mencegah korupsi tidaklah begitu
sulit kalau kita secara sadar untuk menempatkan kepentingan umum (kepentingan
rakyat banyak) di atas kepentingan pribadi atau golongan. Ini perlu ditekankan
sebab betapa pun sempurnanya peraturan, kalau ada niat untuk melakukan korupsi
tetap ada di hati para pihak yang ingin korup, korupsi tetap akan terjadi
karena faktor mental itulah yang sangat menentukan.
Dalam melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat
didasarkan pada 3 (tiga) pendekatan berdasarkan alur proses korupsi yaitu :
- Pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi,
- Pendekatan pada posisi perbuatan korupsi terjadi,
- Pendekatan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi.
Dari tiga pendekatan ini dapat diklasifikasikan tiga
strategi untuk mencegah dan memberantas korupsi yang tepat yaitu :
- Strategi Preventif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan
dengan diarahkan pada hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap
penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat
meminimalkan penyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat upaya yang dapat
meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan banyak
pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu mencegah adanya
korupsi.
- Strategi Deduktif.
Strategi ini harus dibuat dan
dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi
terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat
ditindaklanjuti dengan tepat. Dengan dasar pemikiran ini banyak sistem yang
harus dibenahi, sehingga sistem-sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai
aturan yang cukup tepat memberikan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan
korupsi. Hal ini sangat membutuhkan adanya berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu
hukum, ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.
- Strategi Represif.
Strategi ini harus dibuat dan
dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk memberikan sanksi hukum yang
setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi.
Dengan dasar pemikiran ini proses penanganan korupsi sejak dari tahap
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji
untuk dapat disempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan
tersebut dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinya harus dilakukan
secara terintregasi.
Bagi pemerintah banyak pilihan yang dapat dilakukan sesuai
dengan strategi yang hendak dilaksanakan. Bahkan dari masyarakat dan para
pemerhati / pengamat masalah korupsi banyak memberikan sumbangan pemikiran dan
opini strategi pemberantasan korupsi secara preventif maupun secara represif
antara lain :
- Konsep “carrot and stick” yaitu konsep pemberantasan korupsi yang sederhana yang keberhasilannya sudah dibuktikan di Negara RRC dan Singapura. Carrot adalah pendapatan netto pegawai negeri, TNI dan Polri yang cukup untuk hidup dengan standar sesuai pendidikan, pengetahuan, kepemimpinan, pangkat dan martabatnya, sehingga dapat hidup layak bahkan cukup untuk hidup dengan “gaya” dan “gagah”. Sedangkan Stick adalah bila semua sudah dicukupi dan masih ada yang berani korupsi, maka hukumannya tidak tanggung-tanggung, karena tidak ada alasan sedikitpun untuk melakukan korupsi, bilamana perlu dijatuhi hukuman mati.
- Gerakan “Masyarakat Anti Korupsi” yaitu pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini perlu adanya tekanan kuat dari masyarakat luas dengan mengefektifkan gerakan rakyat anti korupsi, LSM, ICW, Ulama NU dan Muhammadiyah ataupun ormas yang lain perlu bekerjasama dalam upaya memberantas korupsi, serta kemungkinan dibentuknya koalisi dari partai politik untuk melawan korupsi. Selama ini pemberantasan korupsi hanya dijadikan sebagai bahan kampanye untuk mencari dukungan saja tanpa ada realisasinya dari partai politik yang bersangkutan. Gerakan rakyat ini diperlukan untuk menekan pemerintah dan sekaligus memberikan dukungan moral agar pemerintah bangkit memberantas korupsi.
- Gerakan “Pembersihan” yaitu menciptakan semua aparat hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) yang bersih, jujur, disiplin, dan bertanggungjawab serta memiliki komitmen yang tinggi dan berani melakukan pemberantasan korupsi tanpa memandang status sosial untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini dapat dilakukan dengan membenahi sistem organisasi yang ada dengan menekankan prosedur structure follows strategy yaitu dengan menggambar struktur organisasi yang sudah ada terlebih dahulu kemudian menempatkan orang-orang sesuai posisinya masing-masing dalam struktur organisasi tersebut.
- Gerakan “Moral” yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa korupsi adalah kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat dan martabat manusia. Melalui gerakan moral diharapkan tercipta kondisi lingkungan sosial masyarakat yang sangat menolak, menentang, dan menghukum perbuatan korupsi dan akan menerima, mendukung, dan menghargai perilaku anti korupsi. Langkah ini antara lain dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan, sehingga dapat terjangkau seluruh lapisan masyarakat terutama generasi muda sebagai langlah yang efektif membangun peradaban bangsa yang bersih dari moral korup.
- Gerakan “Pengefektifan Birokrasi” yaitu dengan menyusutkan jumlah pegawai dalam pemerintahan agar didapat hasil kerja yang optimal dengan jalan menempatkan orang yang sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Dan apabila masih ada pegawai yang melakukan korupsi, dilakukan tindakan tegas dan keras kepada mereka yang telah terbukti bersalah dan bilamana perlu dihukum mati karena korupsi adalah kejahatan terbesar bagi kemanusiaan dan siapa saja yang melakukan korupsi berarti melanggar harkat dan martabat kehidupan.
PENUTUP
Kesimpulan
Korupsi adalah suatu tindak perdana yang memperkaya diri
yangsecara langsung merugikan negara atau perekonomian negara. Jadi, unsurdalam
perbuatan korupsi meliputi dua aspek. Aspek yang memperkaya diridengan
menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaan uang negarauntuk
kepentingannya.Adapun penyebabnya antara lain, ketiadaan dan kelemahan
pemimpin,kelemahan pengajaran dan etika, kolonialisme, penjajahan
rendahnyapendidikan, kemiskinan, tidak adanya hukuman yang keras,
kelangkaanlingkungan yang subur untuk perilaku korupsi, rendahnya sumber
dayamanusia, serta struktur ekonomi.Korupsi dapat diklasifikasikan menjadi tiga
jenis, yaitu bentuk, sifat,dan tujuan.Dampak korupsi dapat terjadi di berbagai
bidang diantaranya, bidangdemokrasi, ekonomi, dan kesejahteraan negara.
Saran
Sikap untuk menghindari korupsi seharusnya ditanamkan sejak
dini.Dan pencegahan korupsi dapat dimulai dari hal yang kecil
DAFTAR PUSTAKA
Drehel,
Axel and Christos Kotsogiannis, Corruption Around the World: Evidence from a
Structural Mode. 2004
Koentjaraningrat,
Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia. 1985
Prasetyo,
Bambang dan Lina Miftahul Jannah, Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan
Aplikasi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 2005.
Singarimbun,
Masri dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.